
Rabu,
2/2/2022. Program Pascasarjana Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang
menggelar kuliah pakar bertajuk “Makna Religiusitas dalam Wacana Hermeneutika”.
Salah satu narasumber acara tersebut adalah Dr. Sugeng Pujileksono, M.Si.
(dosen FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya).
Di
awal penyampaiannya, Sugeng menjelaskan
bahwa hermeneutika sebagai filsafat, teori, metode, dan kritis telah melalui
jalan panjang sejarah. Diawali dari mitologi Yunani kuno, bahwa Hermes atau
Mercury bertugas untuk menerjemahkan pesan-pesan dari para dewa yang ada di
Gunung Olympus, agar mudah dipahami oleh umat manusia. Kemudian secara etimologi,
hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, hermeneuein yang berarti menafsirkan
atau hermeneia (kata benda) yang berarti penafsiran atau interpretasi.
Hermeneutika sebagai filsafat hadir sejak Aristoteles menuliskannya dalam
karyanya yang berjudul Peri Hermenias atau De Interpretatione.
Dalam
perkembangannya, masih menurut Sugeng, hermeneutika, digaungkan oleh Schleiemarcher,
Dilthey, Husserls, Heidegger, Betti, Gadamer, Ricoeur, Lorenzer, Habermas,
sampai Derrida. Untuk menurunkan konsep-konsep hermeneutika ke dalam ranah
metode penelitian bukanlah hal mudah. Hermeneutika
adalah ilmu dan seni interpretasi. Ilmu karena mengikuti aturan-aturan
tertentu. Seni karena itu adalah keterampilan yang dikembangkan dengan latihan”
(Tony Merida).
Kuliah
pakar ini diikuti oleh mahasiswa Magister dan Doktoral Sosiologi secara online
mulai pukul 19.00 – 21.00. Di tengah-tengah penyampaiannya, Sugeng menjelaskan
bahwa, tujuan utama pendekatan hermeneutik adalah untuk mengeksplorasi dan
menganalisis kata-kata/ pernyataan, menggunakan metode kualitatif, dan teknik
wawancara non-direktif untuk mengumpulkan informasi (Montesperelli, 1998).
Obyek
kajian hermeneutika adalah manifestasi kehidupan yang meliputi (a) konsep,
penilaian, dan formasi pemikiran yang lebih besar untuk mengomunikasikan
keadaan, bukan keadaan pikiran, (b) tindakan sebagai manifestasi kehidupan, dan
(c) ekspresi pengalaman hidup dan yang mengungkapkan lebih banyak tentang
individu yang mengucapkannya (Dilthey, 1910). Hermeneutika sebagai metode
penelitian, berada di bawah naungan paradigma konstruktivistik (Neuman,
Cresswell, Guba & Lincoln). Di akhir penjelasannya, Sugeng menegaskan,
perlu adanya konsistensi antara realitas yang diteliti, tema penelitian, teori,
dan paradigma metode hermeneutika. (spl/fisipuwks)